My Slide

Pembudayaan nilai Agama dan Era Reformasi

08.54 / Diposting oleh UsLih First /

Oleh. Uslih

Didiklah dan persiapkanlah anak-anakmu untuk suatu zaman yang bukan zaman mu, mereka akan hidup di suatu zaman yang bukan zaman mu (Ali bin Abi Thalib)

Peran keluarga dalam mensosialisakan nilai-nilai agama dan seluruh jenis ibadah sangatlah penting dan strategis. Dalam keluargalah pendidikan dan pembudayaan nilai agama dapat tertanam dengan baik sejak usia anak masih sangat dini, bahkan Nabi Muhammad SAW menyebutnya sebagai sejak dari buaian (kandungan ibu). Para ahli ilmu jiwa pendidikan berpendapat bahwa karakter dasar manusia amat bergantung pada bangunan awal orang tua mengolah dan membimbing sang anak. Karena pada usia itulah sang anak mendapat bimbingan langsung dari kedua orang tuanya. Sehingga apa saja yang dipraktikan orang tua sangat mungkin ditelan mentah-mentah dan bakal menjadi bagian yang tak terlupakan oleh sang anak. Freud menyebutnya sebagai masa ”peka”. Pada masa ”peka” ini orang tua dituntut berhati-hati di dalam mensosialisaikan nilai-nilai, baik nilai-nilai sosial, budaya, maupun agama itu sendiri. Terlebih lagi pada prilaku sosialnya sehari-hari.
Apalagi di zaman global sekarang ini, di tengah arus informasi yang massif (hebat) ini, di mana nilai-nilai yang beragam sifat, jenis, dan asalnya merasuk ke dalam rumah kita tanpa permisi, tentulah peran keluarga amat dituntut untuk mengawal dan memagari lingkungannya agar tidak tercemari oleh sistem hegemoni informasi yang kian mendunia, memudahkan manusia, tetapi sekaligus menakutkan dan membuat gerah para orang tua. Keluraga akhirnya dituntut sekali lagi agar tetap melakukan peran strategis yang tidak bisa dilakukan oleh media massa atau institusi sosial lain secara maksimal. Ini berarti bahwa beberapa penajaman fungsi keluarga perlu dilakukan demi menyelamatkan generasi bangsa di masa depan. Kita berharap agar fungsi keluarga ini bisa komplementer atau saling melengkapi dengan institusi lainnya.
Peran-peran strategis yang dapat dilakukan oleh keluarga adalah: Pertama, orang tua seyogyanya bisa tampil sebagai pendidik dan suri tauladan. Di sini, orang tua menjadi pendidik inti dari anak-anak. Metode pendidikan paling efektif dalam lingkungan keluarga adalah lewat contoh dan pembiasaan ibadah shalat dan puasa dengan melihat orang tua melakukannya secara rutin. Apalagi jika membiasakan shalat berjamaah dengan seluruh anggota keluarga. Dibanding dengan semua metode dan tempat belajar, keluargalah yang paling efektif melakukan pembiasaan model begini.
Kedua, orang tua seabagi pemberi motivasi. Kita semua tentu berharap bahwa ibadah kita tidak hanya formal tetapi juga bersifat fungsional, tidak hanya berdimensi satu dan cenderung verbal (lisan) tetapi juga berdimensi banyak dan cenderung praktis (tindakan), mencakup seluruh cipta , rasa dan karsa manusia. Untuk itu orang tua perlu memberi motivasi anank-anak mereka guna mempertajam kepekaan sang anak terhadap kebesaran Tuhan. Misalnya, orang tua bisa memotivasi anak-anak untuk belajar memahami alam sekitarnya. Selain untuk menambah ilmu pengetahuan juga lebih penting lagi untuk menyadari kebesaran Tuhan Yang Maha Esa. Upaya untuk menumbuhkan motivasi anak dalam beribadah, mempelajari dan mensyukuri ciptaan Tuhan yang terhampar luas di bumi, di langit dan apa saja yang ada di antara keduanya itu, menurut hemat kita paling efektif dilakukan oleh keluarga. Karenanya, memberi motivasi untuk kegiatan mencari ilmu sebagai bagian dari iman, perlu ditanamkan oleh keluarga kepada anak secara terus-menerus.
Ketiga, sebagai fasilitator (penyedia). Keluarga diharapkan memfasilitasi perkembangan anak-anaknya dengan tidak lagi bisa melihat orang tua sebagai sumber nilai satu-satunya. Orang tua perlu memfasilitasi anak dengan berbagai kelengkapan sesuatu dengan kebutuhan. Misalnya dengan menyediakan sumber-sumber informasi seperti majalah, buku, surat kabar, kaset, vidio dan sebagainya. Atau, mendaftarkan mereka memasuki sekolah dan kegiatan kemasyarakatan dan keagamaan yang dinilai akan berguna bagi anak-anak. Untuk itu, orang tua perlu memberikan prioritas pada kegiatan penyediaan fasilitas belajar bagi anak-anak mereka. Jangan sampai fasilitas diberikan secara berlebihan sehinggga membuat sang anak bukannya menjadi kreatif, tetapi justru menjadi manja dan tak bergairah. Anak melihat fasilitas sebagai tumpukan ego para orang tua. Hal ini tentu berbahaya bagi perkembangan mental anak.
Keempat, orang tua bertindak sebagai penyaring informasi bagi anak-anaknya. Firman Allah berikut ini dengan jelas menandaskan bahwa
”Dan orang-orang yang menjauhi taghut (yaitu) tidak menyembahnya dan kembali kepada Allah, bagi mereka merupakan berita gembira, sebab itu sampaikanlah kepada mereka kabar gembira-Ku yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah tergolong kaum cendikiawan (orang cerdik pandai). (Q.S. Al Zumar/39 : 17-18).
Penyaringan informasi itu diperlukan agar kita dapat membuat pilihan informasi yang terbaik untuk anak dan keluarga kita, jika kita tidak ingin jatuh ke dalam penyembahan informasi sebagai ”berhala” baru bagi anak-anak kita. Baik penyaringan yang sifatnya langsung dengan, misalnya, memilih sekolah yang tepat, organisasi kemasyarakatan yang baik, buku bacaan yang sesuai, dan program televisi yang lebih mendidik. Penyaringan yang tidak langsung bisa dilakukan dengan dialog yang intens tentang nilai mana yang patut dibuang dan mana yang patut dicerna sebagai nilai-nilai kemanusiaan dan ketuhanan. Misalnya, ketika melihat program televisi, orang tua bisa menjelaskan kelakuan mana yang baik dan terpuji serta perbuatan mana yang buruk dan tercela, yang tidak layak ditiru dan digugu.
Di sini prinsip keterbukaan dari orang tua sangat dibutuhkan untuk membantu kebuntuan dan kesalahan dalam mencerna informasi. Jika orang tua bisa mengembangkan dialog terbuka dan kritis dengan anak-anak dirumah, maka usaha mengurangi kebuntuan dan kesalahan pencernaan informasi dapat terkurangi. Jauh lebih baik memang manakala seorang anak memiliki kepekaan yang sama dengan orang tua untuk memulai suatu dialog yang konstruktif melalui cara-cara yang etis dan santun, maka bahaya penerimaan informasi dapat dihindarkan. Misalnya, informasi tentang bahay penggunaan obat-obat terlarang semacam narkotika, morfin dan ganja, atau tentang pergaulan bebas dikalangan remaja dewasa ini yang kian membudaya tanpa bisa dicegah.
Prinsip saling melengkapi juga amat dibutuhkan di dalam pembudayaan nilai-nilai agama kedalm dir anak. Janganlah orang tua menganggap bahwa dialah yang paling tahu segalanya sambil memperlakukan sang anak tetap sebagai ”anak kecil” yang harus selalu direcoki dengan berbagai petua dan fatwa. Tetapi, sang anak juga diberikan kesempatan yang sam untuk menyatakan pendapat dan pikirannya. Karena kadang-kadang sang anak ingin dihargai pilihan-pilihannya, dipahami perasaan-perasaannya, dimaklumi keputusan-keputusannya, dan di dengar komentar-komentarnya yang mungkin saja menyebalkan. Namun pada tingkat tertentu, sebenarnya orang tua sedang belajar kepada sikap kritis dari anak-anaknya sendiri. Ketika sang anak bersikap kritis, dan orang tua cukup demokratis, maka orang tua sesungguhnya harus berterima kasih bahwa tanpa disadari, orang tua sebenarnya sedang belajar memahami prilaku dan perkembangan anak-anaknya secara gratis, tanpa perlu mengikuti kursus kilat tentang pemberdayaan sumber daya manusia yang kini mulai menjamur di ibukota.
Hal ini penting dijelaskan agar kelak tidak terjadi seperti apa yang dialami di dunia Barat sebagai cognitif dissonance (kebingungan pengetahuan) antara apa yang didapatkan di rumah dan sekolah semuanya sama sekali tidak cocok dengan apa yang ditemukan ditengah-tengah masyarakat. Sang anak melihat semacam inkonsistens (ketidakserasian) wejangan orang tua di rumah dan guru di sekolah dengan kenyataan sehari-hari yang dia temukan di lingkungan masyarakat dimana dia bergaul, hidup dan dibesarkan. Orang tua dan guru misalnya meminta mereka jangan ingkar janji, namun dalam kenyataan hidup di masyarakat dia menemukan banyak orang yang kalau berjanji sulit memenuhi janjinya. Bahkan, kadang-kadang apa yang dikatakan selalu berkebalikan apa yang dilakukan. Kalau sudah begini, maka tidaklah terlalu salah bila anak kemudian mengucapkan ”selamat tinggal” kepada apa yang disebut dengan etika, moral, maupun nilai-nilai keagamaan yang selama ini mereka kenal.
Jadi, sebagai orang tua tidak perlu marah kalau dikritik oleh anak-anak sendiri. Dan tidak perlu malu mengaku salah dihadapan anak-anaknya kalau memang ada kesalahan yang harus diakui. Bila orang tua berlaku tertutup justru berakibat fatal. Anak bakal mencari figur (tokoh) lain di luar rumah sebagai suri tauladan. Karena bagi sang anak, orang tua model demikian sangat tidak layak dijadikan sebagai contoh tauladan, karena begitu sering mereka berlaku curang kepadanya. Manakala sang anak sudah berfikir sedemikian jeleknya, maka isyarat bahwa masa depan keluarga yang bersangkutan akan menghadapi tantangan yang sangat berat . Musuhnya yang paling berbahaya yang bakal mengadakan ”kudeta” (perebutan kekuasaan) terhadap kepemimpinan keluarga adalah dari dalam keluarga itu sendiri, yaitu anak-anaknya yang frustasi dan jengkel terhadap kedua orang tuanya itu.
Maka tidaklah mengherankan-misalnya berita akhir-akhir ini yang sering kita dengar-bila ada anak yang tega membunuh orang tuanya. Lebih tidak mengherankan lagi kalau ada murid menyiksa, memperkosa, lalu membunuh guru wanitanya tanpa belas kasihan. Contoh yang paling mengenaskan adalah seorang anak berusia sekitar 18 tahun membantai ayah, ibu, dan hampir seluruh kakak-kakaknya di Medan tanpa sedikitpun rasa bersalah dan berdosa. Melalui layar televisi kita bisa melihat raut wajahnya yang tenang tanpa merasa bersalah tatkala berhadapan dengan hakim yang mengadilinya. Begitu pula dengan nasib ibu guru cantik di Jawa Barat yang disiksa, diperkosa kemudian dibunuh secara sadis oleh anak muridnya sendiri dengan dendam membara.
Ini semua bisa terjadi, besar kemungkinan sang anak kecewa dengan kondisi kepemimpinan orang tua dan ketauladanan di dalam keluarganya yang dirasakannya sangat tidak adil. Atau, boleh jadi pemaknaan nilai-nilai telah dibuatkan oleh guru di sekolah maupun orang tua di rumah menjadi terbalik-balik diperparah dengan, katakanlah inspirasi yang ditemukan di jalanan, di bar-bar, di bioskop-bioskop, di layar televisi atau mungkin juga buku-buku porno yang di endap-endap di bawah bantal. Sungguh batapa besar andil era informasi dalam menawarkan nilai-nilai dengan acuan pemaknaan yang beraneka ragam, kalau tanpa filterasi dari orang tua, guru, atau masyarakat dengan suri tauladan yang padu antara kata dan perbuatan, maka informasi yang ditawarkan oleh berbagai media semakin menjadi ”neraka” bagi masa depan anak –anak kita.
Seberapa parahkah pengaruh era informasi yang mengglobal dewasa ini yang mampu menjungkirbalikkan nilai- nilai msyarakat? Tingkat keparahannya memang sulit diukur secara matematis, namun dampaknya benar-benar sangat terasa di masyarakat. Karena itu, membuat program antisipatif untuk menanggulanginya adalah langkah strategis yang harus dikerjakan secara teliti, serius dan konsisten. Di dalam Al Qur’an surat Al Hujurat/49 ayat 6 Allah berfirman:
” Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu informasi, maka periksalah informasi itu dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaan yang sebenarnya, (di suatu hari) justru membuatmu menyesal atas perbuatamu itu.”
Manis sekali kiranya bila ayat ini dibenturkan dengan kondisi objek bangsa kita hari ini, kini dan di sini. Betapa banyak musibah yang terjadi ditanah air kita akhir-akhir ini mulai dari tragedi Trisakti, insiden Semanggi, kasus Banyuwangi, peristiwa Ketapang, Kupang, Ambon, dan terakhir di Sambas Kalimantan Barat – akibat dari cara penyampaian dan memperoleh informasi yang tidak terseleksi dengan baik dan benar seperti diisyaratkan oleh ayat suci. Media informasi juga tak kurang bertanggung jawabnya terhadap apa yang terjadi akhir-akhir ini berkat pemberitaan yang cenderung tendensius dan emosional.
Kasus-kasus itu, sebenarnyalah tidak berdiri sendiri bila ditinjau dari perspektif ilmu komunikasi. Bahwa orang kemudian berkesimpulan tentang banyak kasus yang benar-benar menaikan bulu kuduk kita dewasa ini, sebagiannya disebabkan oleh ulah para ’’provokator’’, dan salah satu ’’provokator’’ yang paling serius menurut saya adalah media informasi. Media informasilah yang paling besar peranannya dalam memperparah atau justru memperbaiki keadaan, tergantung ’’moral’’ orang-orang yang menjalankan media itu sendiri.di sini, unsur ’’kepentingan’’ dan nuansa politis yang membawahi media yang bersangkutan sangat menentukan informasi macam apa yang harus dikemas dan dilemparkan ke publik.
Bila dilacak lebih jauh sebab musabab turunnya ayat yang baru saja kita kutip, ternyata berkaitan erat dengan seseorang yang secara sepihak membuat kesimpulan yang berbau ”menghasut” massa tetntang informasi yang belum pasti kebenarannya, namun buru-buru diberitakan sehingga berakhir dengan malapetaka seorang utusan Nabi Muhammad dikeroyok ramai-ramai, bahkan hampir saja dibunuh kalau bukan ada sahabat yang berbaik hati menyelamatkannya. Orang itu sebenarnya yang justru datang untuk menyampaikan dakwah seraya menjadi guru buat mereka. Tetapi, informasi yang diterima bahwa yang datang itu adalah orang ”kafir” yang hendak meminta mereka melepaskan agama Nabi Muhammad dan kembali ke agama nenek moyang seperti sediakala. Maka, turunlah ayat tersebut memberi penjelasan agar umat tidak lekas percaya dengan sumber informasi sebelum dicek kebenarannya melalui sumber informasi yang lain. Di sini unsur kehati-hatian menjadi sangat penting. ”Berhati-hat itu dari Allah, dan tergesa-gesa itu dari syaithan,” demikian sebuah kalimat hikmah.
Sungguhpun diakui bahwa berkat kemajuan teknologi informasi, umat manusia telah dimudahkan dan dimanjakan olehnya untuk mencapai segala yang dibutuhkan dalam hidup. Namun, dalam waktu yang bersamaan, kita juga sedang ’’digarap’’ habis-habisan oleh media informasi kalau kita kurang hati-hati di dalam menerima dan mengolahnya secara profesional dan proporsional. Bayangkan tragedi-tragedi besar yang meluluh-lantakan harta benda seraya mencabut secara keji nyawa manusia hanya karena ulah ’’informen’’ atau disebut-sebut sebagai ’’provokator’’ yang tidak bertanggung jawab itu. Kalau seluruh udara tanah air ini disesaki dengan informasi yang bersemangat kebencian dan penuh dengan’’adu domba’’ maka barang kali kita bisa membayangkan akan seperti apa perjalanan bangsa kita kedepan sungguh mengerikan.
Karena itu, kita percaya bahwa hanya ajaran agama yang mampu memberikan injeksi moral bahwa memberikan kabar bohong, berita dusta, atau informasi palsu dan keterangan yang mengadu domba adalah perbuatan terkutuk yang dicela agama dengan ancaman neraka. Agama membekali hambanya dengan nilai-nilai baik, benar dan indah, dan dengan nilai itu dia akan tampil menjadi manusia beradab dan berkemanusiaan. Keadaban akan hancur dan kemanusiaan akan binasa kalau manusia mengabaikan nilai-nilai yang mengangkat derajat kemanusiaan itu. Mudah-mudahan kita termasuk orang-orang yang dikarunia kemampuan untuk memberi dan menyeleksi informasi sesuai dengan semangat kebaikan, kebenaran dan keindahan berdasarkan tuntunan moral dan nilai-nilai agama yang hanif . ’’Wallahu a’alam’’

(Dikutip dari buku Kehampaan Spiritual Masyarakat Modern).

Uslih (Mahasiswa Program Studi Bahasa Inggris – Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri STAIN) Jurai Siwo Metro-Lampung))
Website : oeslih-firstson.blogspot.com
Email : uslih.firstson@gmail.com

Label:

0 komentar:

Posting Komentar